PALANGKA RAYA, TABALIEN.com – Di pedalaman Kalimantan Tengah, masyarakat adat Dayak Tomun masih menjaga hutan dengan cara mereka sendiri. Mereka hidup berdampingan dengan alam, menjaga keseimbangan, dan mengambil hasil hutan secukupnya—tidak berlebihan. Tapi cara hidup yang sudah dijalani secara turun-temurun ini sekarang terancam. Bukan cuma oleh ekspansi perkebunan sawit, tapi juga oleh aturan negara yang makin mengekang ruang gerak mereka.
Dalam sebuah diskusi publik yang digelar Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI) di Palangka Raya, Kamis (26/6/2025), terungkap bahwa praktik kearifan lokal Dayak Tomun di Desa Kubung, Kabupaten Lamandau, punya peran besar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Diskusi ini merupakan bagian dari penyebaran hasil asesmen YBBI tentang bagaimana masyarakat adat Dayak Tomun mengelola sumber daya alamnya.
Direktur YBBI, Afandy, menjelaskan bahwa masyarakat Tomun tidak hanya menjaga hutan karena alasan ekonomi. Bagi mereka, alam adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang harus dihormati. Ada wilayah-wilayah tertentu yang dianggap keramat dan tidak boleh diganggu. “Ternyata dari sisi ilmiah, cara hidup mereka memang cocok untuk menjaga alam. Jadi bukan sekadar mitos atau cerita turun-temurun,” ujarnya.
Sayangnya, nilai-nilai lokal yang penuh kehati-hatian ini justru bertabrakan dengan realitas hari ini. Perkebunan sawit terus masuk, membuka lahan secara besar-besaran, dan perlahan-lahan menyudutkan komunitas adat. Afandy mengakui, sawit bisa menjadi penghasilan baru bagi warga. Tapi kalau tidak dikendalikan, akan membawa kerusakan lebih besar. “Kita akan lihat kerusakan yang lebih parah kalau ini dianggap bukan masalah,” katanya.
Tekanan terhadap Dayak Tomun tidak hanya datang dari ekspansi industri, tapi juga dari sistem regulasi pemerintah yang rumit. Walaupun Kalimantan Tengah sudah memiliki sejumlah aturan yang mengakui praktik kearifan lokal—seperti Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2021 dan Perda Nomor 1 Tahun 2020—kenyataannya di lapangan tidak semudah itu. Warga adat tetap harus mengurus izin berlapis hanya untuk membuka lahan seperti yang biasa mereka lakukan sejak dulu. “Secara hukum memang sudah diatur, tapi praktiknya tetap sulit,” ujar Faturohman, seorang pemerhati kebijakan di Palangka Raya.
Direktur JPIC Kalimantan, Sani Lake, menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Dayak Tomun bukan hanya soal kelangsungan hidup, tapi soal identitas. Cara mereka bertani, berburu, hingga menjaga hutan adalah bagian dari filosofi hidup yang penuh nilai. Tapi tekanan demi tekanan yang datang bisa mengikis nilai-nilai seperti gotong royong, solidaritas, dan harmoni dengan alam. “Sekarang tinggal bagaimana mereka bertahan dengan nilai-nilai itu. Tapi kita juga harus hadir, memberi ruang dan dukungan agar mereka tidak berjuang sendirian,” ucap Sani.