FGD Penyusunan Tools Asesmen

Bahasa Indonesia

Kondisi Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas di Indonesia, dengan wilayah mencapai 15,3 juta hektar. Namun, sebagian besar wilayah tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan industri ekstraktif. Saat ini, total izin industri ekstraktif di Kalimantan Tengah telah mencapai 11.099.176 hektar, atau setara dengan 73 persen dari luas wilayah provinsi. Izin tersebut terdiri dari:

  • Perkebunan kelapa sawit: 4.809.162 hektar
  • Pertambangan: 1.233.095 hektar
  • Kehutanan: 5.056.919 hektar

Dampak Lingkungan dan Sosial

Dampak dari dominasi industri ekstraktif ini sangat signifikan, baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Secara ekologis, Kalimantan Tengah mencatat angka deforestasi yang masih tinggi, yakni mencapai 95.892 hektar selama periode 2018–2022. Sementara secara sosial, jumlah konflik juga terus meningkat, dengan 348 kasus konflik tercatat antara tahun 2018–2023, yang sebagian besar merupakan konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit (WALHI Kalteng, 2023).

Selain itu, aktivitas industri ekstraktif juga menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi non-pangan. Dari tahun 2015 hingga 2019, luas ladang yang hilang mencapai 43.660 hektar, dan lahan persawahan yang hilang mencapai 59.857 hektar. Dampak dari perubahan penggunaan lahan ini turut memperburuk kerentanan pangan, tercermin dari Indeks Ketahanan Pangan tahun 2023 yang menempatkan Kalimantan Tengah di peringkat ke-28 dari 34 provinsi di Indonesia.

Masyarakat Adat dan Konservasi

Dalam situasi ini, masyarakat adat menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan kawasan hutan, tidak hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga sebagai bagian penting dari budaya, spiritualitas, dan identitas mereka.

Salah satu komunitas adat yang masih menjaga hubungan harmonis dengan hutan adalah masyarakat Dayak Tomun di Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau. Bagi masyarakat Dayak Tomun, hutan merupakan sumber penghidupan sekaligus ruang sakral tempat bersemayamnya roh para leluhur. Nilai-nilai ini tercermin dalam praktik kearifan lokal mereka yang menjaga kelestarian hutan secara turun-temurun, dengan prinsip tidak mengeksploitasi tetapi mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan.

Bukti-bukti di berbagai wilayah menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Sekitar 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia berada dalam wilayah yang dikelola masyarakat adat, yang menjadikan mereka sebagai aktor utama dalam pelestarian ekosistem.

Tujuan Kegiatan

Merumuskan konsep awal tools asesmen yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyusun baseline mengenai praktik kearifan lokal masyarakat Dayak Tomun dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa Kubung.


English

Central Kalimantan’s Condition

Central Kalimantan Province is the largest province in Indonesia, with an area reaching 15.3 million hectares. However, most of this territory has been utilized for extractive industries. Currently, the total area under extractive industry permits in Central Kalimantan has reached 11,099,176 hectares, equivalent to 73% of the province’s total area. These permits consist of:

  • Oil palm plantations: 4,809,162 hectares
  • Mining: 1,233,095 hectares
  • Forestry: 5,056,919 hectares

Environmental and Social Impacts

The impacts of this extractive industry dominance are significant, both environmentally and socially. Ecologically, Central Kalimantan still records high deforestation rates, reaching 95,892 hectares during the 2018-2022 period. Meanwhile, socially, the number of conflicts continues to increase, with 348 conflict cases recorded between 2018-2023, most of which are conflicts between communities and oil palm plantation companies (WALHI Kalteng, 2023).

In addition, extractive industry activities have also caused the conversion of agricultural land to non-food uses. From 2015 to 2019, the area of lost fields reached 43,660 hectares, and lost rice fields reached 59,857 hectares. The impact of these land-use changes has worsened food vulnerability, reflected in the 2023 Food Security Index that ranks Central Kalimantan 28th out of 34 provinces in Indonesia.

Indigenous Communities and Conservation

In this situation, indigenous communities have become the most vulnerable group affected. Indigenous peoples have a very close relationship with forest areas, not only as a source of livelihood but also as an important part of their culture, spirituality, and identity.

One indigenous community that still maintains a harmonious relationship with the forest is the Dayak Tomun community in Kubung Village, Delang District, Lamandau Regency. For the Dayak Tomun people, the forest is both a source of livelihood and a sacred space where ancestral spirits reside. These values are reflected in their local wisdom practices that maintain forest sustainability across generations, with principles of not exploiting but managing wisely and sustainably.

Evidence from various regions shows that indigenous communities play an important role in maintaining environmental sustainability. About 80% of the world’s remaining biodiversity is in areas managed by indigenous communities, making them key actors in ecosystem preservation.

Activity Objective

To formulate an initial assessment tool concept that can be used as a guideline in developing a baseline regarding the local wisdom practices of the Dayak Tomun community in natural resource management in Kubung Village.

TERKAIT

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru