Menjembatani Kebijakan dan Kearifan Lokal: FGD YBBI untuk Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Dayak Ngaju
Sebagai langkah awal menuju penyusunan policy brief yang berpihak pada masyarakat adat, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di Desa Pilang dan Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Kegiatan ini merupakan bagian dari program ESTUNGKARA, yang didukung oleh Kemitraan, dan bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan lokal berbasis kearifan masyarakat hukum adat (MHA) Dayak Ngaju.
Latar Belakang: Ketahanan Pangan dalam Bayang-Bayang KARHUTLA
Kalimantan Tengah adalah wilayah yang kerap terdampak Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA), dengan catatan peristiwa besar terjadi pada 1997, 2015, 2019, dan terakhir 2023. Untuk merespons persoalan ini, pemerintah daerah memberlakukan berbagai regulasi, termasuk Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian KARHUTLA.
Meskipun penting untuk konservasi lingkungan, kebijakan tersebut membawa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat adat, terutama praktik berladang tradisional masyarakat Dayak Ngaju. Ladang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pangan utama, tetapi juga merupakan bagian dari identitas budaya dan spiritual mereka. Pelarangan dan pembatasan aktivitas ini menyebabkan hilangnya mata pencaharian, meningkatnya ketergantungan terhadap bantuan pemerintah, serta meningkatnya kerentanan pangan di tingkat rumah tangga.
Kesenjangan Program dan Realitas Lapangan
Pendampingan dan diskusi kampung yang dilakukan YBBI selama ini menunjukkan bahwa banyak program ketahanan pangan yang dijalankan belum efektif. Program-program tersebut cenderung tidak partisipatif, tidak mempertimbangkan kondisi biofisik lahan setempat, dan sering kali mengabaikan kearifan lokal masyarakat adat. Hasilnya, solusi yang dihadirkan justru tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat, bahkan berisiko memperdalam ketergantungan.
FGD sebagai Ruang Dialog dan Ko-Kreasi Solusi
FGD ini dihadirkan sebagai ruang untuk mendengarkan suara masyarakat adat secara langsung sekaligus mempertemukan mereka dengan berbagai pemangku kepentingan. Dalam diskusi ini, YBBI melibatkan organisasi masyarakat sipil (CSO), akademisi, kelompok perempuan, dan tokoh adat untuk merumuskan strategi kebijakan yang:
-
Adaptif terhadap kondisi sosial dan ekologis setempat,
-
Partisipatif dalam proses penyusunan dan pelaksanaannya, dan
-
Berpihak pada keberlanjutan budaya serta lingkungan hidup masyarakat adat.
Menguatkan Akar Lewat Kebijakan yang Inklusif
Inisiatif ini juga sejalan dengan semangat Perda No. 1 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang menekankan pentingnya pengakuan nilai-nilai lokal dalam tata kelola sumber daya alam. YBBI percaya bahwa kebijakan publik yang berkelanjutan harus lahir dari dialog antara pengetahuan modern dan kearifan lokal—bukan dari dominasi salah satunya.
Melalui FGD ini, YBBI tidak hanya berupaya menyusun policy brief, tetapi juga membangun jembatan antara kebijakan negara dan realitas desa, antara regulasi dan tradisi, antara keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.